E-book : 168 jam dalam sandera


“Bangun Meut! Bangun!”

Suara Budianto mengagetkanku. Tangannya menghentakkan tas yang kupakai sebagai bantal. Budi mengulangi teriaknya, “Bangun Meut! Bangun!”

Entah apa gerangan yang sedang terjadi. Otakku belum bekerja seratus persen, namun bisa kucerna nada kepanikan dalam lengkingan suara Budi. Setahuku, Budi adalah tipe lelaki Jawa yang halus tutur katanya. Tak pernah ia meninggikan suara kepadaku seperti ini.
Belum sempat aku bertanya, Budi kembali berteriak, “Paspor Meut! Passpor…!” Paspor? Kenapa ada yang meminta paspor, padahal rasanya aku sudah lama tertidur sejak melintas perbatasan. Tapi tanganku refleks merogoh tas mencari paspor.
“Cepat Meut! Cepat!” Lagi-lagi Budi berteriak, kali ini lebih keras. Mungkin karena panik, tanganku sulit sekali menemukan paspor. Kuaduk-aduk isi tas. Mataku yang belum awas benar mencoba melihat sekeliling.

Rupanya kami berada di sebuah pom bensin. Posisi mobil yang kutumpangi seperti tengah mengisi bensin. Mataku menangkap sosok tiga lelaki mengepung mobil kami. Wajah mereka tertutup kain sorban yang biasa disebut kafiyeh. Hanya mata mereka yang terbuka. Aku yakin mereka warga Irak.

Budi duduk di jok depan, badannya membalik ke arahku karena tak sabar menungguku mencari paspor tanpa hasil. Di sebelah Budi, kursi tampak kosong. Kemana Ibrahim? Perhatianku beralih ke suara orang menghardik dalam bahasa Arab. Matanya memelototiku.
“Paspor!!” Hanya itu yang bisa kupahami dari rentetan bahasa Arab yang meluncur dari mulutnya.

Aku semakin bingung, tapi pasti ada yang tidak beres. Bukan hanya satu, tiga lelaki itu kini memaksaku dengan tatapan menusuk dan tidak sabar. Kutemukan pasporku, seorang dari mereka langsung menyambarnya. Pada saat bersamaan Ibrahim berlari entah dari mana. Rautnya panik.

“Sahafi! Sahafi! Muslim! Andonesi!” Setengah berteriak Ibrahim menjelaskan pada tiga lelaki itu bahwa kami wartawan muslim dari Indonesia. Ketiga lelaki itu tak mempedulikan berondongan penjelasan Ibrahim. Malah mereka menimpali dengan rentetan pernyataan yang lebih sengit. Itu membuat Ibrahim semakin pucat. Pasti posisinya tak berdaya.
Pintu mobil dibuka, tubuh Ibrahim yang tinggi besar didorong paksa ke arahku. Lalu seorang lelaki memaksa masuk dari samping Ibrahim, dan melompat ke kursi paling belakang. Tangannya menenteng senjata laras panjang jenis AK. Ia mengarahkan moncong senjatanya padaku sambil berteriak dalam bahasa Arab. Sepertinya ia mengatakan, “Jangan berontak, jangan bergerak!”

Di kursi depan, lelaki lain masuk dari pintu kanan, memepet tubuh Budi. Seorang lagi masuk dari pintu depan kiri, duduk di belakang kemudi. Ia membalik ke arah Ibrahim dan merebut kunci dari tangannya. Kasar dan beringas. Tubuh Budipun didorong ke kursi tengah sehingga posisinya terjepit tubuhku dan Ibrahim. Mesin dihidupkan, mobilpun dilarikan sangat kencang. Sekelebat aku melihat beberapa orang di pom bensin hanya melongo tanpa mampu menolong.
Mobil terus melaju kencang, membuat barang-barang bawaan kami, termasuk perangkat liputan, terguncang. Semuanya terjadi begitu cepat. Aku berharap ini hanya bagian dari mimpi tidurku. Kakiku serasa melayang, tubuhku tak lagi menempel di kursi. Mimpikah? Bukan! Walau perasaanku sulit menerima, tapi otakku yang sudah terjaga terus menerus meyakinkan, “Ini kenyataan, Meut, bukan mimpi!” Akhirnya aku pasrah. “Inilah akhir hidupmu.”

Inikah perjalanan menuju kematian? Dunia pun gelap.

Penasaran? Silakan baca sendiri e-booknya… Klik download button di atas. Jangan lupa siapin kacang goreng dan kopinya….

Lebih jauh tentang penulis...

0 comments: